Pola Pola Belajar Siswa, Tipe Belajar Menurut Robert M.Gagne


Pola Pola Belajar Siswa
Pola Pola Belajar Siswa



Pola-pola Belajar Siswa, Robert M.Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke dalam delapan tipe, Delapan tipe belajar dimaksud adalah: 1) Signal learning (belajar isyarat), 2) Stimulus-response learning (belajar stimulas-respons), 3) Chaining (rantai atau rangkaian), 4) Verbal association (asosiasi verbal), 5) Discrimination learning (belajar kriminasi), 6) Concept learning (belajar konsep), 7) Rule learning (belajar aturan), dan 8) Problem solving (memecahkan masalah).
Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan diuraikan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut.

a. Belajar Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)

      Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi tidak menuntut persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk tipe belajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary (tidak sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsunganya tipe belajar ini, adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal learning ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respons yang timbul bersifat umum dan emosional, selain timbulnya dengan tak sengaja dan tak dapat dikuasai
Contoh: Aba-aba "Siap!" merupakan suatu signal atau isyarat untuk mengambil sikap tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang. Wajah ibu di sini merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar menimbulkan rasa jijik. Melihat ular itu merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan tertentu.

b. Belajar Tipe 2:Stimulus-Response Learning (Belajar Stimulus-Respons)

    Bila tipe di atas dapat digolongkan dalam jenis classical condition, maka tipe belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning (Kinble, 1961) atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement. Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforcement
     Contoh : Anjing dapat diajar "memberi salam" dengan mengangkat kaki depannya bila kita katakan "Kasih tangan!" atau "Salam". Ucapan 'kasih tangan merupakan stimulus yang menimbulkan respons 'memberi salam' oleh anjing itu.
    Berdasarkan contoh di atas, jelas bahwa kemampuan itu tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respons dapat diatur dan dikuasai. Respons bersifat spesifik, tidak umjum dan kabur. Respons diperkuat atau di-reinforce dengan adanya imbalan atau reward Sering gerakan motorik merupakan komponen penting dalam respons itu. Dengan belajar stimulus-respons ini seorang pelajar mengucapkan kata-kata dalam bahasa asing. Demikian pula seorang bayi belajar mengatakan "Mama"

c. Belajar Tipe 3 : Chaining (Rantai atau Rangkaian)

      Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan S-R(Stimulus-Respons) yang satu dengan lain. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain. secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining
      Contoh : Dalam bahasa kita banyak contoh chaining seperti ibu-bapak, kampung-halaman, selamat tinggal, dan sebagainya. Juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini, misalnya pulang kantor, ganti baju, makan malam, dan sebagainya. Chaining terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan (contiguity)

d. Belajar Tipe 4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)

Baik chaining maupun verbal association, kedua tipe belajar ini setaraf, yaitu belajar menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu dengan yang lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan "bujur sangkar"; atau mengatakan "itu bola saya", bila dilihatnya bolanya. Sebelumnya ia harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal 'bujur sangkar sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal 'bola', 'saya', dan 'itu'. Hubungan itu terbentuk, bila unsur-unsur nya terdapat dalam urutan tertentu, yang satu segera mengikuti yang satu lagi (contiguity).

e. Belajar Tipe 5 Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)

   Discrimination learning atau belajar mengadakan pembeda. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R)
     Contoh : Anak dapat mengenal berbagai merk mobil berserta namanya, walaupun tampaknya mobil itu banyak bersamaan. Demikian pula ia dapat membedakan manusia yang satu dari yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak anak itu. Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil tertentu berserta namanya. Untuk mengenal model lain harus pula diadakannya chain baru dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi
    Makin banyak yang harus dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.

f. Belajar Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)

    Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep, kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya.
    Belajar konsep mungkin karena kesanggupan manusia untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan menggunakan bahasa. Mungkin juga binatang dapat melakukan demikian, akan tetapi sangat terbatas. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar, jumlah, dan sebagainya. Ia dapat menggolongkan manusia menurut hubungan keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa, pekerjaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk yang abstrak Misalnya kita dapat menyuruh anak dengan perintah "Ambilkan botol yang di tengah!" Untuk mempelajari suatu konsep, anak harus mengalami berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Dalam pada itu ia harus dapat mengadakan diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu. Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur angsur.

g. Belajar Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)

   Rule learning atau belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini siswa belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah kaidah logika formal (induktif, dedukatif, analisis, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai "rule" : prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah, dan sebagainya.
     Belajar aturan adalah tipe belajar yang banyak terdapat dalam pelajaran di sekolah. Banyak aturan yang perlu diketahui oleh setiap orang yang terdidik. Aturan ini terdapat dalam tiap mata pelajaran. Misalnya, benda yang dipanaskan memuai, angin berembus dari daerah maksimum ke daerah minimum, (a + b) (a-b) = a2 - b2, untuk menjamin keselamatan negara harus diadakan pertahanan yang ampuh, tiap warga negara harus setia kepada negaranya, dan sebagainya Ada yang mengatakan, bahwa anak-anak harus menemukan sendiri aturan-aturan itu. Ada pula yang berpendirian, aturan-aturan dapat juga dipelajari dengan memberitahukannya kepada anak didik disertai degan contoh-contoh, dan cara ini lebih singkat dan tidak kurang efektifnya Mengenal aturan tanpa memahaminya akan merupakan "verbal chain" saja dan ini hanya menunjukkan cara belajar yang salah
   Kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar seperti ini, disarankan a) Kepada anak didik diberitahukan bentuk performance yang diharapkan, kalau yang bersangkutan telah menjalani proses belajar b) Kepada anak didik diberikan sejumlah pertanyaan yang merangsang, mengingatkannya (real terhadap konsep-konsep yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkapkan perbendaharaan pengetahuannya c) Kepada anak didik diberikan beberapa kata kunci yang menyarankan anak didik ke arah pembentukan kaidah tertentu yang diharapkan d) Diberikan kesempatan kepada anak didik untuk mengekspresikan dan menyatakan kaidah tersebut dengan kata-katanya sendiri e) Kepada anak didik diberikan kesempatan  selanjutnya untuk menyusun rumusan rule tersebut dalam bentuk statement formal.

h. Belajar Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan masalah)

Problem solving adalah belajar memecahkan masalah. Pada tingkat ini para anak didik belajar merumuskan dan memecahkan masalah, memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya. Menurut John Dewey belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut individu menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah yang memecahkan masalah, adalah sebagai berikut:
1) Merumuskan dan menegaskan masalah
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk memungkinkan mencari jalan pemecahannya. Ia menandai aspek mana yang mungkin dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya sebagai pegangan.
2) Mencari fakta pendukung dan merumuskan hipotesis
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian mengidentifikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan sebagai pertanyaan jawaban sementara yang memerlukan pembuktian (hipotesis).
3) Mengevaluasi alternatif pemecahan yang dikembangkan
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung ruginya. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.
4) Mengadakan pengujian atau verifikasi
Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktikkan, atau dilaksanakan. Dari hasil pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah dirumuskan.
    Dengan demikian proses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung kalau proses-proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai, menurut kondisi lain yang diperlukan adalah bahwa kepada anak didik hendaknya:
1) diberikan stimulus yang dapat menimbulkan situasi bermasalah dalam diri anak didik.
2) diberikan kesempatan untuk memilih dan berlatih merumuskan dan mencari alternatif pemecahannya;
3) diberikan kesempatan untuk berlatih dan mengalami sendiri melaksanakan pemecahan dan pembuktiannya.








--------------------------------------
Sumber
Syaiful bahri djamarah & aswan zain, strategi belajar mengajar , rineka cipta, jakarta, 2002

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar